Jalan Kemuliaan Yang Banyak Dikira Oleh Manusia Sebagai Bentuk Kehinaan
Jalan yang dimaksud ialah bersabar dan memaafkan ketika dizalimi. Banyak yang mengira bahwa bila kita dizalimi dan mengambil sikap sabar serta memaafkan itu berarti menghinakan diri. Padahal sama sekali tidak demikian.
- Sabda Nabi Muhammad ﷺ berikut ini buktinya,
وَلَا ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ عِزًّا
“Tidaklah seorang hamba diperlakukan secara zalim lalu dia bersabar melainkan Allah pasti menambahkan kemuliaan untuknya.” -SHAHIH LI GHAIRIH- (Shahih at-Targhib, 16) HR. At-Tirmidzi (2325)
- Di hadits lain, beliau ﷺ menyatakan,
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
“Dan tidak Allah menambahkan untuk seorang hamba yang memaafkan melainkan tambahan kemuliaan.” HR. Muslim (2588)
Karena begitu semangatnya Rasulullah ﷺ agar kita menempuh jalan ini, beliau sering memesankan hal ini pada kita dengan beragam konteks. Di antaranya sabda beliau ﷺ saat ditanya berapa kali sebaiknya memberi maaf pada pembantu,
اعْفوا عنه فيكلِّ يومٍ سبعينَ مرّةً
“Maafkanlah pembantu dalam setiap hari 70 kali.” -SHAHIH- (Ash-Shahihah, 488) HR. Abu Dawud (5164) dan At-Tirmidzi (2031)
Kalau ini pada pembantu, lalu bagaimana pada teman dan saudara saudara kita.
☑ FAEDAH: ADA SATU KONDISI DI MANA SEMESTINYA TIDAK MEMBERI MAAF
Jika dimaafkan justru membuat orang yang zalim makin menjadi-jadi maka saat itu tidak disyariatkan untuk dimaafkan. Dasarnya ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ
“Maka barang siapa memaafkan dan memperbaiki maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” QS. Asy-Syuro : 40
Pada ayat ini Allah mempersyaratkan maaf yang baik tersebut memberikan dampak perbaikan. Demikian keterangan Al-Allamah as-Si’di rahimahullah.
▫ Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin mengatakan,
“Semua dalil yang menganjurkan untuk memberi maaf harus diikat dengan ketentuan yang ada pada ayat ini. Jadi maaf yang diberikan mesti membawa dampak perbaikan. Hendaknya hal ini diperhatikan.” (Tafsir Surah asy-Syuro, hlm. 302)
▫ Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah memberikan ringkasan yang bagus dan lengkap tentang masalah ini (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, VIII/286), berikut pernyataan beliau,
“Sesungguhnya memaafkan ada kalanya menjadi sebab;
– bertambahnya kezaliman dan penindasan,
– bisa pula jadi sebab orang yang dimaafkan berhenti dari perbuatannya tersebut,
– dan bisa pula tidak memberi pengaruh apa-apa.
1⃣ Apabila maaf yang diberikan malah menjadi sebab perbuatan jahat dan zalimnya bertambah maka memberi maaf di kondisi ini tercela. Bahkan bisa terlarang.
Seperti jika kita memaafkan seorang yang melakukan suatu kejahatan dan kita tahu atau menduga kuat bahwa dia akan pergi melakukan kejahatan yang lebih besar lagi. Pada keadaan ini orang yang memaafkan tidaklah terpuji. Bahkan tercela.
2⃣ Bisa pula memaafkan menjadi sebab orang dimaafkan berhenti dari tindak permusuhannya.
Yaitu dia jadi merasa malu seraya berkata, ‘Dia yang sudah memaafkan aku ini tidak mungkin aku mengganggunya lagi. Dan tidak juga aku mau berbuat zalim lagi pada orang lain.’
Dia merasa malu menjadi orang yang zalim. Dalam keadaan ini yang memaafkan tergolong dalam golongan para pemaaf. Memaafkan pada kondisi ini terpuji dan disukai. Bahkan bisa wajib.
3⃣ Bisa pula maaf yang diberikan tidak menambahkan atau mengurangi apa-apa. Dalam keadaan ini yang utama diberi maaf. Berdasarkan firman Allah ta’ala,
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.” QS. Al-Baqarah : 237 -SELESAI NUKILAN-
Semoga Allah menjadikan kita sebagai sebagai orang orang yang mudah memaafkan.